Menjadi Deadliner, Baik atau Justru Sebaliknya?

Menjadi Deadliner, Baik atau Justru Sebaliknya?

DEPOKPOS – Pernahkah kalian mendengar istilah deadliner? Istilah deadliner berasal dari kata deadline atau tenggat waktu. Deadliner merupakan istilah yang diberikan untuk seseorang yang memiliki kebiasaan mengerjakan sesuatu (misalnya saja tugas) saat tenggat waktu penyelesaian tugas atau deadline sudah sangat dekat. Faktanya, kebiasaan mengerjakan tugas ketika tenggat waktunya sudah dekat cukup sering kita temui. Bahkan, mungkin sebagian dari kita pun telah menjadi deadliner itu sendiri. Saya pun telah menjadi deadliner dalam banyak kesempatan selama saya duduk di bangku pendidikan.

Sadar atau tidak, deadline atau batasan waktu telah menjadi suatu hal yang sangat mudah kita jumpai. Kita bisa mengambil contoh pada peraturan yang ada di sekolah. Kebanyakan sekolah di Indonesia menetapkan bahwa jam masuk sekolah bagi para murid pada hari Senin adalah pukul 07.00. Apabila seorang murid tiba di sekolah setelah pukul 07.00, murid tersebut akan dianggap terlambat. Sama halnya dengan contoh tersebut, tugas-tugas yang diberikan di jenjang pendidikan juga memiliki deadline.

Mengapa deadline sangat dibutuhkan? Tentu saja, supaya kita lebih disiplin dalam mengerjakan suatu hal. Selain itu, deadline membantu kita untuk mengatur waktu supaya kegiatan yang kita lakukan tidak saling bertabrakan. Namun begitu, dalam beberapa kasus, mengapa deadline sering kali membuat seseorang menunda pekerjaan dan malah mengerjakannya ketika tenggat waktunya sudah dekat sehingga dia mengalami kewalahan, kejenuhan, dan kelelahan? Masalahnya sudah jelas bukan pada deadline itu sendiri, melainkan pada orang tersebut. Mari kita tilik lebih lanjut mengenai sang deadliner yang gemar menunda-nunda pekerjaan ini.

Sebenarnya, sebagian besar faktor yang menyebabkan seseorang menjadi deadliner berasal dari diri mereka sendiri. “Setelah menemukan titik awal saya menjadi seorang deadliner (garis keras), saya memikirkan tiga penyebab dari kebiasaan yang saya ingin ubah setengah mati ini…” (Rijo Tobing. 2021. kompasiana.com. 12 Desember 2023). Kali ini, saya akan membahas ketiga penyebab yang dikemukakan oleh Rijo Tobing tersebut dan memadukannya dengan sudut pandang saya sebagai seorang deadliner.

Faktor pertama yang menyebabkan seseorang menjadi deadliner adalah skala prioritas yang berantakan. Terkadang seseorang (termasuk saya) telah membuat skala prioritas yang disusun menurut deadline dari masing-masing tugas yang didapat. Misalnya, saya punya tiga tugas, yaitu X, Y, dan Z. Saya telah menyusun skala prioritas tentang mana yang harus saya kerjakan terlebih dahulu. Skala prioritas itu pun saya susun berdasarkan deadline dari masing-masing tugas. Saya telah menetapkan bahwa urutan tugas yang harus saya kerjakan adalah Y, Z, dan X. Lalu, dalam eksekusinya, apakah saya mengerjakan tugas-tugas itu secara urut seperti skala prioritas saya? Jawabannya seringkali tidak. Hal itu disebabkan oleh banyak godaan, seperti, “Ah, tugas X lebih sederhana. Saya kerjakan tugas ini dulu saja!” Akibatnya, skala prioritas menjadi tidak berguna dan timeline dalam mengerjakan tugas menjadi berantakan.

Faktor kedua yang dapat membuat seseorang menjadi deadliner adalah sifat perfeksionis yang berlebihan. Seseorang yang memiliki sifat perfeksionis biasanya sering menunda suatu pekerjaan sampai akhirnya orang tersebut mendapatkan momen yang dirasanya sebagai momen terbaik untuk mengerjakan tugas. Inilah yang membuat seseorang menunda-nunda pekerjaan sehingga orang tersebut menjadi deadliner alias seseorang yang mengerjakan tugas ketika deadline sudah dekat.

Faktor ketiga yang membuat seseorang menjadi deadliner dan tetap bertahan menjadi seorang deadliner adalah keberhasilan demi keberhasilan yang melenakan. Sebagai seorang deadliner, saya bisa merasakan kesenangan ketika saya dapat mengeksekusi ide saya dalam mengerjakan tugas ketika deadline sudah sangat dekat. Ketika saya berhasil melakukan hal itu, saya menganggapnya sebagai keberhasilan yang mengagumkan meskipun ide yang saya eksekusi itu mungkin masih banyak kekurangan karena saya mengerjakannya dengan terburu-buru. Ini salah satu hal yang membuat saya sulit meninggalkan status saya sebagai seorang deadliner. Sadar atau tidak, sejujurnya hal ini malah membuat saya semakin malas mencicil tugas jauh sebelum deadline.

Itulah tiga faktor yang menyebabkan seseorang menjadi deadliner. Memang, mengerjakan tugas mendekati deadline membawa sensasi tersendiri di mana kita bisa mengerjakan tugas dalam durasi waktu yang relatif singkat dan hal itu membuat kita berpikir bahwa tugas tersebut bisa kita selesaikan secara instan dengan mengerahkan semua tenaga di saat sudah mendekati deadline. Namun, hal itu berdampak buruk bagi kita, terutama bagi kesehatan kita. Kegiatan bermanfaat yang seharusnya bisa kita lakukan tepat waktu menjadi tertunda akibat mengerjakan tugas yang sudah mendekati tenggat pengumpulan. Akibat lain yang kita rasakan ketika menjadi deadliner adalah jam tidur yang tidak teratur. Kita menjadi lelah dan merasa kurang tidur akibat begadang demi menyelesaikan tugas. Tak jarang kegiatan-kegiatan di hari berikutnya tidak bisa kita lakukan dengan penuh produktivitas, sebab kita merasa lelah, jenuh, dan butuh apresiasi diri setelah berperang satu hari untuk menyelesaikan tugas.

Jadi, apakah menjadi deadliner baik atau justru sebaliknya? Anda bisa menyimpulkannya. Saya sarankan Anda untuk tidak menjadi deadliner. Bagaimana pun, mengerjakan tugas jauh sebelum deadline lebih baik dari pada menjadi deadliner.

Josephine Angelia Pramudya
Mahasiswa S1 informatika UNS

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait